Selasa, 08 Oktober 2013

TATA GUNA LAHAN DAN HUKUM PERTANAHAN



TATA GUNA LAHAN DAN HUKUM PERTANAHAN
MEMBANGUN KAWASAN AGROPOLITAN DI SUMATRA BARAT


Description: C:\Users\user\Downloads\UNAND.jpg
DI  SUSUN OLEH:  KELOMPOK 5
*      SILVIA QURATUL AINI
*      SUHELMI RAHMA RACHIM
*      NURUL FADLI
*      NOFANDRI BAZAR YULIAS
*      ILMA JUWITA
*      BENI SAPUTRA
*      ESA PRIMANA PUTRA



PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013

BAB I
P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia meluncurkan program agropolitan sebagai sebuah pilot proyek pembangunan pedesaan yang di laksanakan di tujuh kabupaten di seluruh Indonesia.
Makalah  ini membahas pengembangan kawasan agropolitan di Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau).
Indonesia memulai periode desentralisasi secara nyata dengan memberlakukan undang-undang otonomi daerah. Dalam hal ini daerah administratif kota berada pada hirarki yang sama dengan kabupaten. Kenyataannya, muncul ketidaksinkronan antara tujuan program agropolitan dan efek dari proses otonomi daerah; seperti persaingan antara dua daerah. Untuk itu sangat menarik untuk mengkaji konsep program agropolitan begitu juga konteks pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Untuk merealisasikan program agropolitan, kabupaten sebagai daerah pelaksana harus melibatkan sebagian besar dinas instansi yang terkait terutama bidang ekonomi. Kegiatan ini juga melibatkan beberapa instansi pusat. Dan untuk
mendukung kegiatan ini pemerintah pusat telah menyalurkan anggaran untuk Pemerintah Kabupaten, dan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Agam telah menerima sekitar 6,3 milliar rupiah (+ 700 juta US dollar) dari tahun 2002 sampai
tahun 2006, yang kemudian diinvestasikan untuk berbagai infrastruktur.
Sebenarnya program agropolitan dikembangkan untuk meningkatkan kwalitas daerah dan membangun kemandirian kawasan. Akan tetapi apa terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kawasan agropolitan selalu tergantung
pada Kota besar  dalam menjalankan roda perekonomiannya maupun aktivitas sosial lainnya.
Konsep Agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di
perdesaan (Deptan, 2002). Dalam hal ini dukungan infrastruktur sangat diperlukan
untuk mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi pertanian (Dep.Kimpraswil, 2003). Maka dibangunlah beberapa ruas jalan usaha tani, pasar tani, pasar ternak; disamping itu dalam pelaksanaan pelayanan teknik untuk mendukung peningkatan produksi dibangun juga labor inseminasi buatan dan embrio transfer. Disini terlihat bahwa sebagian besar dari infrastruktur yang dibangun merupakan bangunan baru, bukan perbaikan terhadap
fasilitas yang sudah ada.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mendorong daerah-daerah kabupaten meningkatkan pergerakan ekonomi layaknya daerah perkotaan. Sedangkan masalah perkotaan menuntut adanya perluasan wilayah administrative ke wilayah peripheri. Bagi daerah kabupaten, salah satu cara adalah berusaha memanfaatkan sebagian sumberdaya dan kegiatan kota dengan membangun infrastruktur yang diperkirakan dapat mendukung peningkatan pergerakan ekonomi di kawasan peripheri kota.
Masalah utama muncul dalam pelaksanaan program agropolitan di kawasan peri urban, bagaimana program pembangunannya dapat diselaraskan dengan pembangunan perkotaan, dimana masing-masing dari kedua kawasan geografi Untuk menemukan jawaban tersebut maka semua hal yang terkait dengan program tersebut akan dibahas satu persatu dan bagaimana hubungan antara satu dan lain kebijakan











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PROGRAM AGROPOLITAN
Pengembangan Wilayah
Program agropolitan adalah salah satu bentuk pengembangan wilayah dengan mengintegrasikan semua unsur yang terkait dengan bidang pembangunan pertanian. Sekilas dapat kita lihat konsep konsep pembangunan wilayah yang dikemukakan para ahli agar posisi agropolitain dapat dilihat dengan lebih jelas.
Friedman dan Allonso, 1978 mengemukakan bahwa pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan factor eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain.
Lebih jelas Zen dalam Alkadri, (1999; 4-5) menggambarkan tentang pengembangan wilayah sebagai hubungan yang harmonis antara sumber daya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan dalam memberdayakan masyarakat, seperti terlihat pada gambar 2.1.
2.1 Hubungan antara elemen pembangunan
Zen, 1999 :5
Pada umumnya pengembangan wilayah mengacu pada perubahan produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk, kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan. Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan dan lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada adanya perbaikan wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang menjadi berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan dengan
eksploitasi wilayah.
Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2 (dua) sisi yang saling berkaitan yaitu sisi sosial dan ekonomis. Dengan kata lain pengembangan wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya (Triutomo,1999; 50). Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sector strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann & Allonso, 1978).

a.    Pengembangan Wilayah System Top
Sistem pengembangan wilayah di Indonesia sebelum otonomi daerah dilaksanakan secara top down, baik kebijakan perluasan wilayah administrative maupun pembentukan wilayah kawasan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan dalam pembentukan kawasan khusus yang mengutamakan landasan kepentingan nasional yang mencerminkan karakteristik pendekatan regionalisasi sentralistik. Dalam hal ini aspek pengambilan keputusan dilaksanankan secara top down. (Abdurrahman, 2005).
Rondinelli dalam Rustiadi (2006:8) mengidentifikasikan tiga konsep
pengembangan kawasan, yakni (1) konsep kutup pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi (keterpaduan) fungsional-spasial, dan (3) pendekatan decentralized territorial. Di Indonesia konsep growth pole dirintis mulai tahun delapan puluhan yaitu dengan menekankan investasi massif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban terutama di Jawa dimana banyak tenaga kerja, dengan harapan dapat menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) atau efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dan berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Indikator ekonomi nasional sangat bagus hingga tahun 1997, namun dampaknya bagi pembangunan daerah lain sangat terbatas.
Kenyataannya teori ini gagal menjadi pendorong utama (prime over) pertumbuhan ekonomi wilayah. Sebaliknya kecenderungan yang terjadi adalah penyerapan daerah sekelilingnya dalam hal bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat enterpreneur. Hal ini menyebabkan kesenjangan antar daerah.
Perencanaan dan aplikasi pembangunan dengan paradigma top down (sentralistik) tidak dapat membuat perubahan sehingga mulai dievaluasi dan secara bertahap berubaah menjadi sistem bottom up, dimulai sejak mundurnya Presiden Suharto di tahun 1998 dan diundangkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 1999 yang baru diaplikasikan pada tahun 2001.
Perubahan dari paradigma sentralistik pasca otonomi daerah tidak serta merta hilang, namun secara berangsur-angsur mulai beralih pola ke arah bottom up. Peluang pembangunan wilayah secara nonstruktural, berdasarkan inisiatif local dan dikelola tanpa memiliki keterikatan struktural administratif terhadap hirarki yang diatasnya.



b.    Pengembangan Wilayah Sistem Bottom Up
Pendekatan teknis kewilayahan melalui pendekatan homogenitas atau sistem fungsional mengalami proses yang lebih kompleks karena pelaksanaannya meliputi aspek kesepakatan atau komitmen para aktor regional dalam memadukan kekuatan endogen (Abdurrahman, 2005:15). Kemudian Rustiadi (2006:9) menambahkan bahwa konsep integrasi fungsional-spasial seperti yang pernah dicetuskan oleh Rondinelli berupa pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu perlu dikembangkan untuk memfasilitasi dan memberi pelayanan regional secara lebih luas.
Salah satu bentuk konsep ini adalah pewilayah agropolitan yang dirancang pertama kali oleh Friedman, Mc Dauglas, 1978 yang merupakan rancangan pembangunan dari bawah (development from below) sebagai reaksi dari pembangunan top down (development from above). Agropolitan merupakan distrik atau region selektif yang dirancang agar pembangunan digali dari jaringan kekuatan lokal ke dalam yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono.S, 2002:49). Namun dimensi ruang (spatial) memiliki arti yang penting dalam konteks pengembangan wilayah, karena ruang dapat menciptakan konflik dan pemicu kemajuan bagi individu dan masyarakat.
Secara kuantitas ruang adalah terbatas dan secara kualitas ruang memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda. Maka dari itu intervensi terhadap kekuatan pasar (planning) yang berwawasan keruangan memegang peranan yang sangat penting dalam formulasi kebijakan pengembangan wilayah. Sehingga keserasian berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah dapat diwujudkan, dengan memanfaatan ruang dan sumber daya yang ada didalamnya guna mendukung kegiatan kehidupan masyarakat (Riyadi, DS, dalam Urbanus M Ambardi, 2002: 48).
Sebagai suatu sistem yang kompleks perlu intervensi isolasi dalam proses integrasi kedalam dengan kontrol dan subsidi yang mencegah proses inviltrasi dari luar (Sugiono.S, 2002:50). Namun karena penerapan program agropolitan yang berjalan seiring dengan proses globalisasi maka proteksi wilayah sulit dilakukan. Jadi ada dua sisi yang saling tarik menarik dan keduanya juga saling bertolak belakang. Dimana satu sisi dibutuhkan kemandirian dalam pengembangkan wilayah sementara disisi lainnya dibutuhkan proteksi atau kekuatan central agar satu dan lain hal dapat dikondisikan untuk mencapai tujuan yang ideal. Sementara itu hal lain yang juga berpengaruh besar adalah adanya kekuatan globalisasi yang tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk mengatur segala sesatunya sesuai dengan konsep yang dicanangkan. Ada beberapa perubahan yang terjadi sesuai dengan berjalannya proses pembangunan itu sendiri.

Konsep Agropolitan
Konsep agropolitan adalah sebuah kebijakan pemerintah pusat yang merupakan pendekatan terpadu dari beberapa departemen bidang ekonomi untuk pembangunan di pedesaan khususnya pertanian dengan jalan melengkapi infrastruktur, memperluas akses terhadap kredit usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dan mendorong pertumbuhan industri guna meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Program ini dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (Deptan, 2002).
Namun pada kenyataannya kawasan agropolitan yang dibangun di Indonesia, tidak pernah benar-benar mandiri dalam memenuhi kebutuhan kawasan maupun dalam distribusi produk. Jadi diperlukan upaya dalam memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan produtivitas wilayah akan barang dan jasa, (Friedman & Allonso, 1978).
Abstraksi kawasan agropolitan tersebut dapat digambarkan secara skematik pada gambar 2.2 berikut . Disini dapat terlihat bahwa sebuah kawasan padat dipilih sebagai pusat sistem dimana dipusatkan pelayanan untuk seluruh kawasan dan hinterlandnya.


Konsep agropolitan memandang bahwa pembangunan wilayah ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang medorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sector pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. Dalam hal ini dukungan infrastruktur sangat diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi pertanian (Dep.Kimpraswil,
2003)
Tujuan utama program ini adalah untuk memenuhi pelayanan terhadap masyarakat di pedesaan, dengan kata lain menurut Friedmann, adalah menciptakan kota di desa agar para petani atau masyarakat desa secara umum tidak perlu pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Terutama dalam hal pelayanan produksi dan distribusi, pelayanan sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Disamping itu program ini juga diharapkan dapat menahan masyarakat untuk tetap kerasan berada di kampung dan membangun desa guna
mengurangi exodus ke kota.
Pengembangan agropolitan diciptakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di daerah. Teori ini mendukung paradigma pembangunan dari bawah yang muncul sebagai pendekatan pembangunan yang mengutamakan kekuatan lokal. Menurut Friedmann dalam Aydalot, 1985:146 menyatakan bahwa pembangunan dari dalam adalah yang bersifat kedaerahan, kerakyatan dan demokratis. Daerah merupakan basis pembangunan, dimana wilyah merupakanbasis dari pembangunan itu sendiri, yaitu sebuah kawasan tertentu dimana pembangunan terjadi dan menarik sumber daya yang ada. Dia merupakan hasil dari setiap bagian/komponen wilayah dari suatu kawasan, dengan kata lain komponen alam, budaya, ekonomi dan sosial.
Dikatakan kerakyatan bila dia melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat dan dikatakan demokratis bila dia dapat mendukung sistem yang demokratis dalam pelaksanaannya. Kemudian program ini terutama sekali diciptakan untuk menyetarakan pembangunan kota dan desa, meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, merangsang pertumbuhan industri, berkelanjutan dan mengurangi urbanisasi kemudian menciptakan lapangan kerja guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

a.      Dinamika Daerah dengan Kawasan Agropolitan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengusulkan beberapa pedoman penting dalam pengembangan Kawasan Agropolitan, yaitu:
·         Pembangunan perdesaan hanya dapat dilakukan jika konsentrasi fasilitas dan pelayanan distimulasi di pusat desa
·        



Pengembangan berdasarkan hirarki pusat-pusat desa: district town, locality town and village servic centre (struktur hirarki yang berhubungan dengan norma dan standar pelayanan, merupakan kerangka kerja perencanan)
·         Perencanaan dilakukan pada tingkat regional (delineasi region dapat berbentuk batas geografis, batas administratif atau batas kegiatan ekonomi)
·         Perencanaan pembangunan dan pengembangan desa dimulai dari tingkat nasional-propinsi-kabupaten-kecamatan dan kawasan.











Dengan kata lain bahwa kawasan agropolitan merupakan suatu bagian dari sebuah
kesatuan yang berpadu dalam sebuah sistem yang lebih luas yang akan memperkuat keseluruhan kawasan pedesaan, seperti yang terlihat pada model di atas.
Kota desa dan kota menegah mempertahankan hubungan dengan kota pada hirarki yang lebih tinggi. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi tidak selalu sama dengan teori. Dalam perkembangannya bahwa hubungan antara pusat dan sub pusat dalam suatu wilayah tidak seluruhnya dapat dilayani oleh wilayah yang bersangkutan, karena adanya faktor eksternal wilayah yang sangat mempengaruhi orientasi salah satu sub wilayah ke wilayah luarnya. Hal ini terjadi karena wilayah merupakan ruang yang terbuka sehingga interaksi yang terjadi secara alamiah keluar dari wilayah yang bersangkutan

Menurut teori ini, pusat wilayah berfungsi sebagai:
o   Tempat terkonsentrasinya penduduk (permukiman),
o   Sebagai pusat pelayanan terhadap daerah hinterland,
o   Pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri,
o   Sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.
Hinterland berfungsi sebagai:
o   Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku,
o   Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan comuting (penglaju),
o   Sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur,
o   Penjaga keseimbangan ekologis.

b.      Keterkaitan Antar Dua Wilayah

Proses interaksi anatara wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan haruslah dalam konteks pembangunan interregional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional antara keduanya. Wilayah pedesaan harus dibangun strategi pengembangan yang sesuai dengan kondisi pedesaan dengan kemampuan tingkat pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan dan lain-lain yang setara, sehingga mampu menggerakkan ekonomi pedesaan dan menciptakan nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku lokal (Rustiadi at al, 2006:9)
Kawasan agropolitan sudah diakui dalam UU Tata Ruang RI No.26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Namun bagaimanapun, teori masih jauh dari kenyataan. Hambatan utama tersandung pada dinamika baru di daerah yang dipicu oleh otonomi daerah yang dicanangkan pada tahun 2000 yang memberi otonomi pada daerah kota dan kabupaten. Dimana masing-masing daerah mempunyai kepentingan atas segala sumber daya yang mereka punya. Jika kita kembali pada skema interaksi wilayah pada gambar 2.4, pusat wilayah 1 yang terletak di luar kawasan saat sekarang sudah menjadi daerah otonom yang mempunyai kepentingan untuk mengembangkan daerahnya dan menarik produksi dari kawasan hinterland yang sekarang juga mempunyai hak otonomi sendiri.

2.2 KAWASAN DI SUMATERA BARAT
Sumatera Barat berada di bagian barat tengah pulau Sumatera dengan luas 42.297,30 km. Provinsi ini memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km.
Danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau (99,5 km), Singkarak (130,1 km), Diatas (31,5 km), DibawahTalang (5,0 km). (Dibaruh) (14,0 km) dan beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai InderagiriBatang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. (disebut sebagai  Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendek-pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan, serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.827.973 juta orang (Data BPS Sumatera Barat 2010).
Propinsi Sumatera Barat memiliki potensi sumber daya alam yang belum banyak dimanfaatkan. Demikian pula ada potensi pembangunan yang telah dimanfaatkan, tetapi belum optimal dikembangkan, antara lain di bidang industri, pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan dan penggalian.
Berbagai industri di Sumatera Barat telah berkembang dengan pesat, untuk bahan tambang memiliki golongan A, B dan C. Bahan tambang golongan A, yaitu batu bara terdapat di kota Sawahlunto. Sedangkan Bahan tambang golongan B yang terdiri dari air raksa, belerang, pasir besi, tembaga, timah hitam dan perak menyebar di wilayah kabupaten Sijunjung, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Lima Puluh Kota, Pasaman, dan Tanah Datar. Bahan tambang golongan C menyebar di seluruh kabupaten dan kota, sebagian besar terdiri dari pasir, batu dan kerikil. Selain industry pertambangan Sumatera Barat juga kaya akan komoditi pangannya yang meliputi Karet yang ada di Sawahlunto, Kakao yang ada di Sawahlunto, Pasaman dan Padang Panjang, serta komoditi sawit yang ada di Damasraya. Industri-industri tersebut serta industri lainnya termasuk rekayasa dan rancang bangun, dan berbagai industri dengan teknologi madya dan tinggi, memiliki potensi untuk berkembangdengan memanfaatkan lingkungan pendidikan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan yang kuat di propinsi ini.
Karena banyaknya industry yang belum di kelola dengan baik di Sumatera Barat maka perlu di lakukan pengembangan kawasan Agropolitan di Sumatera Barat. Dimana pengembangan ini didasarkan pada pengembangan desa yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi kota dengan menggunakan teknologi madya dan tinggi dan di bantu dengan berkembangnya ilmu pendidikan di Sumatera Barat. Terlebih lagi hal ini di dukung oleh masih rendahnya pendapatan perkapita masyarakat di Sumatera Barat yang memungkinkan naiknya angka kemiskinan dan pengangguran di Sumatera Barat.
Komoditi Hasil Pertanian di Sumatera Barat
Kesepakatan Pengembangan Komoditi Unggulan Antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota Tahun 2008-2012 sebagai berikut :

NO
KAB/KOTA
KOMODITI UNGGULAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Kab. Agam
Kab. Pasaman
Kab. Pasaman Barat
Kab. Lima Puluh Kota
Kab. Solok
Kab. Solok Selatan
Kab. Padang Pariaman
Kab. Pesisir Selatan
Kab. Tanah Datar
Kab. Sijunjung
Kab. Darmasraya
Kab. Kep. Mentawai
Kota Bukittinggi
Kota Padang
Kota Sawahlunto
Kota Padang Panjang
Kota Solok
Kota Payakumbuh
Kota Pariaman
Sayur-sayuran, Sapi Potong
Kakao, Perikanan Air Tawar
Jagung, Perikanan Laut
Gambir, Jeruk
Sayur-sayuran, Sapi Potong
Perikanan Air Tawar, Sapi Potong
Kakao, Sapi Potong
Perikanan Laut, Sapi Potong
Kambing, Casiavera
Sapi Potong, Perikanan Air Tawar
Sapi Potong, Perikanan Air Tawar
Kakao, Pisang
Tanaman Hias, Produk Olahan Hasil Pertanian
Perikanan laut, Ayam Potong
Kakao, Karet
Kulit, Sapi Perah
Minyak Atsiri, Makanan Ringan
Makanan Ringan, Sapi Potong
Pisang, Kelapa



















BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Makalah ini difokuskan pada pelaksanaan program agropolitain yang dilaksanakan di Propinsi Sumatera Barat. Kajian yang dilakukan ialah sejauh mana program dapat memajukan pembangunan pedesaan serta kaitannya dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan dalam waktu yang
hampir bersamaan.
Konsep agropolitan yang dikemukakan oleh Friedmann dan telah melalui
kajian di tingkat PBB dalam hal pengembangan wilayah di negara berkembang adalah sebuah konsep yang sangat bagus untuk mendukung pembangunan pedesaan. Namun beberapa kesalahan telah terjadi dalam proses pelaksanaanya mulai dari tingkat pemerintah pusat sebagai pemrakarsa, pemilik anggaran dan pengendali program, sampai ke tingkat pemerintah Kabupaten sebagai
pelaksana di lapangan.

3.2 Saran
Mengingat program agropolitain ini cukup bagus untuk pembangunan kawasan pertanian, seperti yang sudah berhasil juga dilaksanan di daerah Bolodemang (Grobogan, Blora, Demak, dan Rembang di Propinsi Jawa Tengah), diperlukan pembahasan  lanjutan tentang kemungkinan pelaksanaan program agropolitan di daerah kawasan Sumatera Barat yang masih kurang terbangun, dimana
sebagian besar masyarakat berusaha di bidang pertanian dan infrastruktur masih
sangat terbatas.






DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Benjamín. 2005. Regional Management & Regional Marketing, IAP Jawa Tengah.
Alkadri, Dodi et.al. 2001. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah ,
BPPT.
Friedmann, Jhon, 1987. Planning In The Public Domain, Princeton Univercity Presse, Princeton New Jersey.
Friedmann, John and Allonso, W. 1978. Regional Economic Development and Planning. Mass. MIT Press.
Riyadi dan Bratakusumah, Deddy. 2004.Perencanaan Pembangunan Daerah,. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Rondinelli, A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis-The Spatial Dimensions of Development Policy. Westview Press/Boulder. London.
Rustiadi. Ernan (ed.). 2006. Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan Desa- Kota Berimbang ,IPB Universitas Baranangsiang, Bogor.
Rustiadi. Ernan, Saefulhakim. Sunsun, Panuju. R.Dyah. 2004, Diktat Perencanaan dan Pengembangan, IPB Universitaire Baranangsiang, Bogor.
Triutomo, Sugeng. 2001. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, BPPT, Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar