TATA GUNA LAHAN DAN HUKUM PERTANAHAN
MEMBANGUN KAWASAN AGROPOLITAN DI SUMATRA
BARAT
DI
SUSUN OLEH: KELOMPOK 5
SILVIA
QURATUL AINI
SUHELMI
RAHMA RACHIM
NURUL FADLI
NOFANDRI
BAZAR YULIAS
ILMA JUWITA
BENI
SAPUTRA
ESA PRIMANA
PUTRA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2002, Pemerintah
Indonesia meluncurkan program agropolitan sebagai sebuah pilot proyek pembangunan
pedesaan yang di laksanakan di tujuh kabupaten di seluruh Indonesia.
Makalah ini membahas
pengembangan kawasan agropolitan di Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau).
Indonesia memulai periode
desentralisasi secara nyata dengan memberlakukan undang-undang otonomi daerah.
Dalam hal ini daerah administratif kota berada pada hirarki yang sama dengan
kabupaten. Kenyataannya, muncul ketidaksinkronan antara tujuan program
agropolitan dan efek dari proses otonomi daerah; seperti persaingan antara dua
daerah. Untuk itu sangat menarik untuk mengkaji konsep program agropolitan
begitu juga konteks pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah baik di
tingkat nasional maupun di daerah.
Untuk merealisasikan program
agropolitan, kabupaten sebagai daerah pelaksana harus melibatkan sebagian besar
dinas instansi yang terkait terutama bidang ekonomi. Kegiatan ini juga
melibatkan beberapa instansi pusat. Dan untuk
mendukung kegiatan ini pemerintah pusat telah menyalurkan anggaran
untuk Pemerintah Kabupaten, dan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Agam telah menerima
sekitar 6,3 milliar rupiah (+ 700 juta US dollar) dari tahun 2002 sampai
tahun 2006, yang kemudian diinvestasikan untuk berbagai
infrastruktur.
Sebenarnya program
agropolitan dikembangkan untuk meningkatkan kwalitas daerah dan membangun
kemandirian kawasan. Akan tetapi apa terjadi tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Kawasan agropolitan selalu tergantung
pada Kota besar dalam
menjalankan roda perekonomiannya maupun aktivitas sosial lainnya.
Konsep Agropolitan adalah
pembangunan ekonomi berbasis pertanian di
perdesaan (Deptan, 2002). Dalam hal ini dukungan infrastruktur
sangat diperlukan
untuk mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi
faktor-faktor produksi pertanian (Dep.Kimpraswil, 2003). Maka dibangunlah
beberapa ruas jalan usaha tani, pasar tani, pasar ternak; disamping itu dalam
pelaksanaan pelayanan teknik untuk mendukung peningkatan produksi dibangun juga
labor inseminasi buatan dan embrio transfer. Disini terlihat bahwa sebagian
besar dari infrastruktur yang dibangun merupakan bangunan baru, bukan perbaikan
terhadap
fasilitas yang sudah ada.
Kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah mendorong daerah-daerah kabupaten meningkatkan pergerakan
ekonomi layaknya daerah perkotaan. Sedangkan masalah perkotaan menuntut adanya
perluasan wilayah administrative ke wilayah peripheri. Bagi daerah kabupaten,
salah satu cara adalah berusaha memanfaatkan sebagian sumberdaya dan kegiatan
kota dengan membangun infrastruktur yang diperkirakan dapat mendukung
peningkatan pergerakan ekonomi di kawasan peripheri kota.
Masalah utama muncul dalam
pelaksanaan program agropolitan di kawasan peri urban, bagaimana program
pembangunannya dapat diselaraskan dengan pembangunan perkotaan, dimana
masing-masing dari kedua kawasan geografi Untuk menemukan jawaban tersebut maka
semua hal yang terkait dengan program tersebut akan dibahas satu persatu dan
bagaimana hubungan antara satu dan lain kebijakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PROGRAM AGROPOLITAN
Pengembangan
Wilayah
Program agropolitan adalah salah satu
bentuk pengembangan wilayah dengan mengintegrasikan semua unsur yang terkait
dengan bidang pembangunan pertanian. Sekilas dapat kita lihat konsep konsep
pembangunan wilayah yang dikemukakan para ahli agar posisi agropolitain dapat
dilihat dengan lebih jelas.
Friedman dan Allonso, 1978 mengemukakan
bahwa pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan)
yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik
secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber
daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan factor
eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan
interaksinya dengan wilayah lain.
Lebih jelas Zen dalam Alkadri, (1999;
4-5) menggambarkan tentang pengembangan wilayah sebagai hubungan yang harmonis
antara sumber daya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya
tampung lingkungan dalam memberdayakan masyarakat, seperti terlihat pada gambar
2.1.
2.1 Hubungan antara elemen pembangunan
Zen, 1999 :5
Pada umumnya pengembangan wilayah
mengacu pada perubahan produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan
populasi penduduk, kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah
industri pengolahan. Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada
pengembangan sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas
lingkungan, kesejahteraan dan lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan
pada adanya perbaikan wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang
berkembang menjadi berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak
berkaitan dengan
eksploitasi
wilayah.
Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2
(dua) sisi yang saling berkaitan yaitu sisi sosial dan ekonomis. Dengan kata
lain pengembangan wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat
produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya
(Triutomo,1999; 50). Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan
pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah
yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan
sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi
kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan
nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket
pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sector strategis (potensial) yang
perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann & Allonso, 1978).
a.
Pengembangan Wilayah
System Top
Sistem pengembangan wilayah di Indonesia
sebelum otonomi daerah dilaksanakan
secara top down, baik kebijakan perluasan wilayah administrative maupun pembentukan wilayah
kawasan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan dalam pembentukan kawasan khusus yang mengutamakan landasan
kepentingan nasional yang
mencerminkan karakteristik pendekatan regionalisasi sentralistik. Dalam hal ini aspek pengambilan
keputusan dilaksanankan secara top down. (Abdurrahman, 2005).
Rondinelli dalam Rustiadi (2006:8)
mengidentifikasikan tiga konsep
pengembangan
kawasan, yakni (1) konsep kutup pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi
(keterpaduan) fungsional-spasial, dan (3) pendekatan decentralized territorial.
Di Indonesia konsep growth pole dirintis mulai tahun delapan puluhan
yaitu dengan menekankan investasi massif pada industri-industri padat modal di
pusat-pusat urban terutama di Jawa dimana banyak tenaga kerja, dengan harapan
dapat menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) atau efek
tetesan ke bawah (trickle down effect) dan berdampak luas terhadap
pembangunan ekonomi wilayah. Indikator ekonomi nasional sangat bagus hingga
tahun 1997, namun dampaknya bagi pembangunan daerah lain sangat terbatas.
Kenyataannya teori ini gagal menjadi
pendorong utama (prime over) pertumbuhan ekonomi wilayah. Sebaliknya
kecenderungan yang terjadi adalah penyerapan daerah sekelilingnya dalam hal
bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat enterpreneur. Hal ini
menyebabkan kesenjangan antar daerah.
Perencanaan dan aplikasi pembangunan
dengan paradigma top down (sentralistik) tidak dapat membuat perubahan
sehingga mulai dievaluasi dan secara bertahap berubaah menjadi sistem bottom
up, dimulai sejak mundurnya Presiden Suharto di tahun 1998 dan
diundangkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 1999 yang
baru diaplikasikan pada tahun 2001.
Perubahan dari paradigma sentralistik
pasca otonomi daerah tidak serta merta hilang, namun secara berangsur-angsur
mulai beralih pola ke arah bottom up. Peluang pembangunan wilayah secara
nonstruktural, berdasarkan inisiatif local dan dikelola tanpa memiliki
keterikatan struktural administratif terhadap hirarki yang diatasnya.
b.
Pengembangan Wilayah
Sistem Bottom Up
Pendekatan teknis kewilayahan melalui
pendekatan homogenitas atau sistem fungsional mengalami proses yang lebih
kompleks karena pelaksanaannya meliputi aspek kesepakatan atau komitmen para
aktor regional dalam memadukan kekuatan endogen (Abdurrahman, 2005:15).
Kemudian Rustiadi (2006:9) menambahkan bahwa konsep integrasi
fungsional-spasial seperti yang pernah dicetuskan oleh Rondinelli berupa
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik
fungsional secara terpadu perlu dikembangkan untuk memfasilitasi dan memberi
pelayanan regional secara lebih luas.
Salah satu bentuk konsep ini adalah
pewilayah agropolitan yang dirancang pertama kali oleh Friedman, Mc Dauglas,
1978 yang merupakan rancangan pembangunan dari bawah (development from below)
sebagai reaksi dari pembangunan top down (development from above). Agropolitan
merupakan distrik atau region selektif yang dirancang agar pembangunan digali
dari jaringan kekuatan lokal ke dalam yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono.S,
2002:49). Namun dimensi ruang (spatial) memiliki arti yang penting dalam
konteks pengembangan wilayah, karena ruang dapat menciptakan konflik dan pemicu
kemajuan bagi individu dan masyarakat.
Secara kuantitas ruang adalah terbatas
dan secara kualitas ruang memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda.
Maka dari itu intervensi terhadap kekuatan pasar (planning) yang berwawasan
keruangan memegang peranan yang sangat penting dalam formulasi kebijakan
pengembangan wilayah. Sehingga keserasian berbagai kegiatan pembangunan sektor
dan wilayah dapat diwujudkan, dengan memanfaatan ruang dan sumber daya yang ada
didalamnya guna mendukung kegiatan kehidupan masyarakat (Riyadi, DS, dalam
Urbanus M Ambardi, 2002: 48).
Sebagai suatu sistem yang kompleks perlu
intervensi isolasi dalam proses integrasi kedalam dengan kontrol dan subsidi
yang mencegah proses inviltrasi dari luar (Sugiono.S, 2002:50). Namun karena
penerapan program agropolitan yang berjalan seiring dengan proses globalisasi
maka proteksi wilayah sulit dilakukan. Jadi ada dua sisi yang saling tarik
menarik dan keduanya juga saling bertolak belakang. Dimana satu sisi dibutuhkan
kemandirian dalam pengembangkan wilayah sementara disisi lainnya dibutuhkan
proteksi atau kekuatan central agar satu dan lain hal dapat dikondisikan untuk
mencapai tujuan yang ideal. Sementara itu hal lain yang juga berpengaruh besar
adalah adanya kekuatan globalisasi yang tidak memungkinkan bagi pemerintah
untuk mengatur segala sesatunya sesuai dengan konsep yang dicanangkan. Ada
beberapa perubahan yang terjadi sesuai dengan berjalannya proses pembangunan
itu sendiri.
Konsep
Agropolitan
Konsep agropolitan adalah sebuah
kebijakan pemerintah pusat yang merupakan pendekatan terpadu dari beberapa
departemen bidang ekonomi untuk pembangunan di pedesaan khususnya pertanian
dengan jalan melengkapi infrastruktur, memperluas akses terhadap kredit usaha
untuk meningkatkan pendapatan petani dan mendorong pertumbuhan industri guna meningkatkan
nilai tambah sektor pertanian. Program ini dirancang dan dilaksanakan dengan
jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem
dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan
terdesentralisasi (Deptan, 2002).
Namun pada kenyataannya kawasan
agropolitan yang dibangun di Indonesia, tidak pernah benar-benar mandiri dalam
memenuhi kebutuhan kawasan maupun dalam distribusi produk. Jadi diperlukan
upaya dalam memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan
peluang yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan produtivitas wilayah akan
barang dan jasa, (Friedman & Allonso, 1978).
Abstraksi kawasan agropolitan tersebut
dapat digambarkan secara skematik pada gambar 2.2 berikut . Disini dapat
terlihat bahwa sebuah kawasan padat dipilih sebagai pusat sistem dimana
dipusatkan pelayanan untuk seluruh kawasan dan hinterlandnya.
Konsep agropolitan memandang bahwa
pembangunan wilayah ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang medorong
pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah
sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat
pelayanan sector pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas usaha
pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata,
jasa pelayanan, dan lain-lain. Dalam hal ini dukungan infrastruktur sangat
diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi
faktor-faktor produksi pertanian (Dep.Kimpraswil,
2003)
Tujuan utama program ini adalah untuk
memenuhi pelayanan terhadap masyarakat di pedesaan, dengan kata lain menurut
Friedmann, adalah menciptakan kota di desa agar para petani atau masyarakat
desa secara umum tidak perlu pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Terutama dalam hal pelayanan produksi dan distribusi, pelayanan sosial,
ekonomi, budaya dan sebagainya. Disamping itu program ini juga diharapkan dapat
menahan masyarakat untuk tetap kerasan berada di kampung dan membangun desa
guna
mengurangi
exodus ke kota.
Pengembangan agropolitan diciptakan
untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di daerah. Teori ini mendukung
paradigma pembangunan dari bawah yang muncul sebagai pendekatan pembangunan
yang mengutamakan kekuatan lokal. Menurut Friedmann dalam Aydalot, 1985:146
menyatakan bahwa pembangunan dari dalam adalah yang bersifat kedaerahan,
kerakyatan dan demokratis. Daerah merupakan basis pembangunan, dimana wilyah
merupakanbasis dari pembangunan itu sendiri, yaitu sebuah kawasan tertentu
dimana pembangunan terjadi dan menarik sumber daya yang ada. Dia merupakan
hasil dari setiap bagian/komponen wilayah dari suatu kawasan, dengan kata lain komponen
alam, budaya, ekonomi dan sosial.
Dikatakan kerakyatan bila dia melibatkan
partisipasi dari masyarakat setempat dan dikatakan demokratis bila dia dapat
mendukung sistem yang demokratis dalam pelaksanaannya. Kemudian program ini
terutama sekali diciptakan untuk menyetarakan pembangunan kota dan desa,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, merangsang pertumbuhan industri,
berkelanjutan dan mengurangi urbanisasi kemudian menciptakan lapangan kerja
guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
a. Dinamika
Daerah dengan Kawasan Agropolitan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
mengusulkan beberapa pedoman penting dalam pengembangan Kawasan Agropolitan,
yaitu:
·
Pembangunan perdesaan
hanya dapat dilakukan jika konsentrasi fasilitas dan pelayanan distimulasi di
pusat desa
·
Pengembangan berdasarkan hirarki pusat-pusat desa: district town, locality town and village servic centre (struktur hirarki yang berhubungan dengan norma dan standar pelayanan, merupakan kerangka kerja perencanan)
·
Perencanaan dilakukan
pada tingkat regional (delineasi region dapat berbentuk batas geografis,
batas administratif atau batas kegiatan ekonomi)
·
Perencanaan pembangunan
dan pengembangan desa dimulai dari tingkat nasional-propinsi-kabupaten-kecamatan
dan kawasan.
Dengan kata lain bahwa kawasan
agropolitan merupakan suatu bagian dari sebuah
kesatuan
yang berpadu dalam sebuah sistem yang lebih luas yang akan memperkuat
keseluruhan kawasan pedesaan, seperti yang terlihat pada model di atas.
Kota desa dan kota menegah
mempertahankan hubungan dengan kota pada hirarki yang lebih tinggi. Tetapi
dalam kenyataan yang terjadi tidak selalu sama dengan teori. Dalam
perkembangannya bahwa hubungan antara pusat dan sub pusat dalam suatu wilayah
tidak seluruhnya dapat dilayani oleh wilayah yang bersangkutan, karena adanya
faktor eksternal wilayah yang sangat mempengaruhi orientasi salah satu sub
wilayah ke wilayah luarnya. Hal ini terjadi karena wilayah merupakan ruang yang
terbuka sehingga interaksi yang terjadi secara alamiah keluar dari wilayah yang
bersangkutan
Menurut
teori ini, pusat wilayah berfungsi sebagai:
o Tempat
terkonsentrasinya penduduk (permukiman),
o
Sebagai pusat pelayanan
terhadap daerah hinterland,
o Pasar
bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri,
o Sebagai
lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai
kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output
tertentu.
Hinterland
berfungsi sebagai:
o Pemasok
(produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku,
o Pemasok
tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan comuting (penglaju),
o Sebagai
daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur,
o Penjaga
keseimbangan ekologis.
b. Keterkaitan
Antar Dua Wilayah
Proses interaksi anatara wilayah
pedesaan dengan wilayah perkotaan haruslah
dalam konteks pembangunan interregional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang
seimbang dan proporsional antara keduanya. Wilayah pedesaan harus dibangun strategi pengembangan yang sesuai
dengan kondisi pedesaan dengan
kemampuan tingkat pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan dan lain-lain yang setara, sehingga mampu
menggerakkan ekonomi pedesaan
dan menciptakan nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku lokal (Rustiadi at al, 2006:9)
Kawasan agropolitan sudah diakui dalam
UU Tata Ruang RI No.26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa kawasan agropolitan
adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Namun bagaimanapun, teori masih jauh
dari kenyataan. Hambatan utama tersandung pada dinamika baru di daerah yang
dipicu oleh otonomi daerah yang dicanangkan pada tahun 2000 yang memberi
otonomi pada daerah kota dan kabupaten. Dimana masing-masing daerah mempunyai
kepentingan atas segala sumber daya yang mereka punya. Jika kita kembali pada
skema interaksi wilayah pada gambar 2.4, pusat wilayah 1 yang terletak di luar
kawasan saat sekarang sudah menjadi daerah otonom yang mempunyai kepentingan
untuk mengembangkan daerahnya dan menarik produksi dari kawasan hinterland yang
sekarang juga mempunyai hak otonomi sendiri.
2.2 KAWASAN DI SUMATERA
BARAT
Sumatera Barat berada di bagian barat tengah
pulau Sumatera dengan luas 42.297,30 km. Provinsi ini memiliki dataran rendah
di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang
membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di
Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat
seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km.
Danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau
(99,5 km), Singkarak (130,1 km), Diatas (31,5 km), DibawahTalang (5,0 km). (Dibaruh) (14,0 km) dan beberapa sungai besar di pulau
Sumatera berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai InderagiriBatang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. (disebut sebagai Sungai-sungai
yang bermuara di pantai barat pendek-pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan, serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.827.973 juta orang (Data BPS Sumatera Barat
2010).
Propinsi Sumatera Barat memiliki potensi sumber daya
alam yang belum banyak
dimanfaatkan. Demikian pula ada potensi pembangunan yang telah dimanfaatkan,
tetapi belum optimal dikembangkan, antara lain di bidang industri, pertanian
tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan
dan penggalian.
Berbagai
industri di Sumatera Barat telah berkembang dengan pesat, untuk bahan tambang
memiliki golongan A, B dan C. Bahan tambang golongan A, yaitu batu bara
terdapat di kota Sawahlunto.
Sedangkan Bahan tambang golongan B yang terdiri dari air raksa, belerang, pasir besi, tembaga, timah hitam
dan perak
menyebar di wilayah kabupaten Sijunjung, Dharmasraya, Solok, Solok
Selatan, Lima
Puluh Kota, Pasaman,
dan Tanah Datar.
Bahan tambang golongan C menyebar di seluruh kabupaten dan kota, sebagian besar
terdiri dari pasir, batu dan kerikil.
Selain industry pertambangan Sumatera Barat juga kaya akan komoditi pangannya
yang meliputi Karet yang ada di Sawahlunto, Kakao yang ada di Sawahlunto,
Pasaman dan Padang Panjang, serta komoditi sawit yang ada di Damasraya. Industri-industri
tersebut serta industri lainnya termasuk
rekayasa dan rancang bangun, dan berbagai industri dengan teknologi
madya dan tinggi, memiliki potensi untuk berkembangdengan memanfaatkan lingkungan pendidikan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan yang kuat di propinsi
ini.
Karena banyaknya industry yang belum di kelola dengan baik
di Sumatera Barat maka perlu di lakukan pengembangan kawasan Agropolitan di
Sumatera Barat. Dimana pengembangan ini didasarkan pada pengembangan desa yang
memiliki potensi untuk berkembang menjadi kota dengan menggunakan teknologi
madya dan tinggi dan di bantu dengan berkembangnya ilmu pendidikan di Sumatera
Barat. Terlebih lagi hal ini di dukung oleh masih rendahnya pendapatan
perkapita masyarakat di Sumatera Barat yang memungkinkan naiknya angka
kemiskinan dan pengangguran di Sumatera Barat.
Komoditi Hasil Pertanian di Sumatera Barat
Kesepakatan
Pengembangan Komoditi Unggulan Antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota Tahun
2008-2012 sebagai berikut :
NO
|
KAB/KOTA
|
KOMODITI
UNGGULAN
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
|
Kab. Agam
Kab. Pasaman
Kab. Pasaman Barat
Kab. Lima Puluh Kota
Kab. Solok
Kab. Solok Selatan
Kab. Padang Pariaman
Kab. Pesisir Selatan
Kab. Tanah Datar
Kab. Sijunjung
Kab. Darmasraya
Kab. Kep. Mentawai
Kota Bukittinggi
Kota Padang
Kota Sawahlunto
Kota Padang Panjang
Kota Solok
Kota Payakumbuh
Kota Pariaman
|
Sayur-sayuran, Sapi Potong
Kakao, Perikanan Air Tawar
Jagung, Perikanan Laut
Gambir, Jeruk
Sayur-sayuran, Sapi Potong
Perikanan
Air Tawar, Sapi
Potong
Kakao, Sapi Potong
Perikanan
Laut, Sapi
Potong
Kambing, Casiavera
Sapi
Potong, Perikanan Air Tawar
Sapi
Potong, Perikanan Air Tawar
Kakao, Pisang
Tanaman Hias, Produk Olahan Hasil Pertanian
Perikanan
laut, Ayam
Potong
Kakao, Karet
Kulit, Sapi Perah
Minyak Atsiri,
Makanan Ringan
Makanan Ringan, Sapi Potong
Pisang, Kelapa
|
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Makalah ini difokuskan pada pelaksanaan
program agropolitain yang dilaksanakan di Propinsi Sumatera Barat. Kajian yang
dilakukan ialah sejauh mana program dapat memajukan pembangunan pedesaan serta
kaitannya dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan
dalam waktu yang
hampir
bersamaan.
Konsep agropolitan yang dikemukakan oleh
Friedmann dan telah melalui
kajian
di tingkat PBB dalam hal pengembangan wilayah di negara berkembang adalah
sebuah konsep yang sangat bagus untuk mendukung pembangunan pedesaan. Namun
beberapa kesalahan telah terjadi dalam proses pelaksanaanya mulai dari tingkat
pemerintah pusat sebagai pemrakarsa, pemilik anggaran dan pengendali program,
sampai ke tingkat pemerintah Kabupaten sebagai
pelaksana
di lapangan.
3.2
Saran
Mengingat program agropolitain ini cukup
bagus untuk pembangunan kawasan pertanian, seperti yang sudah berhasil juga
dilaksanan di daerah Bolodemang (Grobogan, Blora, Demak, dan Rembang di
Propinsi Jawa Tengah), diperlukan pembahasan lanjutan tentang kemungkinan pelaksanaan
program agropolitan di daerah kawasan Sumatera Barat yang masih kurang
terbangun, dimana
sebagian
besar masyarakat berusaha di bidang pertanian dan infrastruktur masih
sangat
terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman,
Benjamín. 2005. Regional Management & Regional Marketing, IAP Jawa
Tengah.
Alkadri,
Dodi et.al. 2001. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah ,
BPPT.
Friedmann,
Jhon, 1987. Planning In The Public Domain, Princeton Univercity Presse,
Princeton New Jersey.
Friedmann,
John and Allonso, W. 1978. Regional Economic Development and Planning.
Mass. MIT Press.
Riyadi
dan Bratakusumah, Deddy. 2004.Perencanaan Pembangunan Daerah,. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Rondinelli,
A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis-The Spatial Dimensions
of Development Policy. Westview Press/Boulder. London.
Rustiadi.
Ernan (ed.). 2006. Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan Desa- Kota
Berimbang ,IPB Universitas Baranangsiang, Bogor.
Rustiadi.
Ernan, Saefulhakim. Sunsun, Panuju. R.Dyah. 2004, Diktat Perencanaan dan
Pengembangan, IPB Universitaire Baranangsiang, Bogor.
Triutomo,
Sugeng. 2001. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Ekonomi
Terpadu dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, BPPT, Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar